Posted by : Ashari Riski July 9, 2011

Rum kuncaraning bangsa dumuning haning luhuring budaya (keharuman dan kebesaran suatu bangsa terletak di keluhuran budayanya)–Paku Buwono (PB) X.

Berkaitan dengan dilaksanakannya Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Kota Solo, saya ingin memaparkan bagaimana Kota Solo memiliki sejarah yang tidak bisa dipisahkan dengan persebakbolaan nasional. Sejarah itu terkait peran Sahandap Sampeyandalem Paku Buwono (PB) X, salah satu raja dari Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sejarah lahirnya PSSI tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) atau Perserikatan Sepak Bola di Solo zaman Hindia Belanda. Vorstenlandsche Voetbal Bond juga dikenal sebagai pelopor dunia persepakbolaan di Indonesia, karena didirikan sebelum bermunculannya klub-klub sepak bola. Kala itu jelas PSSI belum lahir. Pada 1923 VVB didirikan oleh Sastrosaksono dari Klub Mars serta RNg Reksodiprojo dan Sutarman dari Klub Romeo.
Kemudian pada 1928 oleh Soemokartiko nama VVB diganti menjadi Persatuan Sepak Bola Indonesia Solo (Persis). Solo membuktikan rasa nasionalismenya dengan berani menggunakan kata Indonesia kali pertama sebagai nama klub kesebelasan lokal. Hal ini juga tidak terlepas dari peran PB X yang saat itu mendukung baik langsung maupun tidak langsung perkembangan kebangkitan nasional yang ditandai dengan banyak berdirinya organisasi-organisasi sosial dan politik di Kota Solo.
Pada 19 April 1930 di Jogja digagas untuk membentuk Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia (PSSI) dengan dukungan beberapa klub kesebelasan seperti Voetbalbond Indonesish Jakarta (VIJ), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB), Persatuan Sepak Raga Mataram (PSM) Jogja, Vortenlandsche Voetbal Bond (VVB) Solo, Madioensche Voetbal Bond (MVB), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM) dan Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB). Kemudian pada tahun yang sama PSSI di Kota Solo diubah menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Saat itu Ir Soeratin Sosrosoegondo, lulusan Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, dipilih menjadi Ketua PSSI yang pertama.
Bangun stadion
Kedekatan Ir Soeratin dengan Gusti Kanjeng Pangeran Hario (GKPH) Soerijohamidjojo menjadi jalan atas berdirinya Stadion Sriwedari, Solo (Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuhun Sri Susuhunan Paku Buwono X, tulisan RM Karno). Dengan perantaraan GKPH Soerijohamidjojo, keinginan untuk membangun stadion sendiri diutarakan kepada PB X.
Keinginan tersebut dikabulkan oleh Sinuhun PB X dengan memerintahkan RNg Tjondrodipoero dari bagian Kartiprojo Keraton (sekarang Dinas Pekerjaan Umum/DPU) serta RM Ng Sontroprojo serta seorang Belanda bernama Zeylman untuk membangun stadion dengan memotong sisi barat Taman Sriwedari milik PB X. Perintah Sinuhun agar stadion ini dibangun dengan taraf internasional yang dilengkapi penerangan untuk pertandingan malam hari serta dilengkapi tribun penonton yang mampu menampung sekitar 5.000 orang berikut lintasan untuk olah raga lari (sekarang atletik) di sekeliling lapangan. Perencanaan stadion dipercayakan kepada Mr Zeylman dengan menghabiskan biaya sebesar 30.000 gulden. Penanggung jawab pembangunan adalah RM Ng Tjondrodiprojo beserta 100 pekerja. Pembangunan dilaksanakan selama 8 bulan, dimulai pada 1932.
Setelah selesai dikerjakan, stadion ini menjadi satu-satunya stadion bertaraf internasional di Indonesia buatan putra Indonesia saat itu yang mengadopsi teknik penyerapan air hujan di tengah lapangan. Stadion yang kemudian diberi nama Stadion Sriwedari ini kemudian diresmikan penggunaannya oleh Bandara Pangeran Hario (BPH) Panoelar mewakili Sinuhun Paku Buwono X pada 1933 dengan menyerahkan pengelolaan stadion kepada Ir Soeratin.
Sejak 1933 Indonesia memiliki stadion bertaraf internasional pertama karya anak bangsa yang layak disejajarkan dengan Stadion Menteng, Jakarta, milik Nederlandsch Indisch Voetbal Unie (NIVU) atau PSSI-nya Hindia Belanda saat itu. Pada 9 September 1946 Stadion Sriwedari dipergunakan sebagai ajang kegiatan Pekan Olahraga Nasional (PON) I.
Siaran langsung
Pada 1934 Persis Solo menyelenggarakan pertandingan sepak bola dan untuk kali pertama disiarkan secara langsung melalui radio. Ir Soeratin dan GKPH Soerijohamidjojo menggagas rencana tersebut dengan menghadap PB X. Hal ini dilakukan karena saat itu radio satu-satunya di Kota Solo adalah Soloche Radio Vereeniging (SRV) yang merupakan anggota Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM).
Salah satu persyaratan untuk mengadakan siaran langsung adalah mengumandangkan lagu kebangsan Belanda Wilhelmus van Nassouwe terlebih dahulu. PB X mendukung gagasan tersebut dengan membiayai GKPH Soerijohamidjojo untuk berangkat ke Bandung membeli peralatan untuk melakukan siaran radio tersebut. Bagi PB X saatnya untuk menunjukkan kemampuan Keraton Surakarta Hadiningrat saat itu yang merupakan salah satu pendukung berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memiliki radio sendiri. Hal ini dibuktikan dengan memberi nama Siaran Radio Indonesia (SRI) sebagai nama radio milik Keraton Kasunanan Surakarta tersebut.
Studio dan pemancar SRI didirikan di salah satu sudut pendapa rumah GKPH Soerijohamidjojo, di lingkungan Baluwarti, dan memulai siaran perdananya dengan menyiarkan pertandingan sepak bola tersebut secara langsung. Atas perintah Sinuhun PB X setiap siaran sepak bola dari stadion Sriwedari harus diawali dengan mengumandangkan lagu Indonesia Raya walaupun saat itu belum dinyatakan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Mulai 1934 siaran sepak bola dapat didengar oleh masyarakat Indonesia di sekitar Surakarta hingga Jogja, Madiun, Pacitan dan Salatiga. Sementara itu untuk pembukaan siaran SRI memperdengarkan gending Srikaton.
Tentu saja apa yang dilakukan oleh PB X yakni pembangunan Stadion Sriwedari dan pendirian SRI mengandung risiko, apalagi keberanian beliau menggunakan kata Indonesia serta membangun stadion untuk masyarakat pribumi yang saat itu sama sekali belum bisa menikmati stadion yang begitu bagus.
Salah satu akibat yang diterima PB X adalah pelarangan pengibaran bendera Goela Kelapa sebagai bendera kebangsaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat saat itu di seluruh wilayah kerajaan, kecuali di ibu kota kerajaan saja.
Ada sesuatu yang menarik dari kiprah PB X dalam kancah persepakbolaan nasional walaupun tidak terjun secara langsung. Salah satu dari perkembangan sepak bola Indonesia saat itu salah satunya diawali dari Kota Solo. Saat sepak bola dikenal bangsa Indonesia, pada saat itu tidak bisa mempergunakan stadion yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda. PB X pun mengizinkan Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton Kasunanan Surakarta dipergunakan sebagai tempat latihan dan pertandingan sepak bola bagi orang-orang pribumi. Tidak salah kalau kebesaran Persis Solo yang menjuarai tujuh kali liga perserikatan tidak lepas dari peran PB X.
Lebih dari pada itu ada satu benang merah dengan dipilihnya Solo sebagai tuan rumah Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI tahun ini. Solo memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan persepakbolaan nasional dan tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan kiprah PB X. Pesan yang disampaikan oleh Sinuhun PB X adalah tentang pentingnya mengedepankan kepentingan nasional dibandingkan kepentingan pribadi atau kelompok.
Hal itu bisa dilihat dari keputusan-keputusan beliau untuk membangun Stadion Sriwedari dan membangun pemancar berikut studio Radio SRI. Bahkan hingga kini pun PB X tidak pernah mengharapkan penghargaan atas apa yang sudah dikorbankannya. Sabda PB X di atas mengandung pelajaran kebesaran suatu bangsa harus dilandasi dari keluhuran budaya bangsa itu.
Semoga hasil Kongres Luar Biasa PSSI ini mampu memberikan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi masyarakat dan bangsa. Caranya dengan meninggalkan kepentingan pribadi dan golongan serta mengedepankan kerja bersama untuk kepentingan bersama pula. Memayu hayuning bawono, sepi ing pamrih, rame ing gawe.


Bambang Ary Wibowo, Anggota Badan Promosi Pariwiata Indonesia Surakarta

Leave a Reply

CATATAN : UNTUK BERKOMENTAR TANPA AKUN , GUNAKAN "Beri komentar sebagai" : ANONYMOUS

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Powered by Blogger.

Popular Post

ARSIP

SMS GRATIS


- Copyright © riski ashari -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -