- Back to Home »
- Seputar Kota »
- Lapan: Teleskop Tak Mampu Lihat Hilal Rendah
Posted by : Ashari Riski
August 28, 2011
Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin mengatakan, sampai saat ini di dunia tidak ada teleskop yang mampu melihat hilal dengan ketinggian di bawah 4 derajat.
"Problemnya dengan teleskop secanggih apa pun, baik cahaya hilal dan cahaya senja di ufuk sama-sama diperkuat, sehingga hilal di ketinggian rendah tetap sulit terlihat," kata Thomas Djamaluddin di Jakarta, Minggu (28/8/2011).
Ia menanggapi tentang adanya perbedaan pendapat dalam menentukan penanggalan Hijriah seperti penentuan 1 Syawal, 1 Ramadhan, dan lainnya, yakni kriteria wujudul hilal yang menekankan hanya pada hisab dan kriteria Imkan Rukyat yang mengharuskan visibilitas hilal di samping hisab.
"Ketinggian hilal sangat rendah pada 29 Ramadhan (29 Agustus), yakni di bawah dua derajat, maka kemungkinan besar rukyat itu akan gagal melihat hilal, sehingga Ramadhan digenapkan 30 hari dan Idul Fitri seharusnya jatuh pada 31 Agustus," kata Djamal.
Pakar antariksa yang juga anggota Badan Hisab dan Rukyat (BHR) itu menegaskan, cahaya hilal dan cahaya senja berasal dari matahari, jadi panjang gelombangnya sama dan tidak bisa difilter.
Tidak ada teknologi yang mampu melihat hilal (bulan sabit) di bawah 4 derajat, dan secara teori pun tidak ada teknologi yang bisa mengatur tingkat kekontrasan agar hilal bisa lebih tampak dibanding cahaya senja, kecuali ada teknologi yang bisa mematahkan teori tersebut.
"Kriteria hisab yang saat ini digunakan oleh Muhammadiyah seharusnya diperbaiki, kriteria tersebut terlalu sederhana," katanya, sambil menekankan pentingnya penyatuan kriteria penentuan tanggal Hijriah.
Agar bisa merukyat bulan, ujarnya, jarak bulan dan matahari minimal 6,4 derajat dan beda antara tinggi bulan dan matahari dari ufuk minimal 4 derajat. Jadi, hilal baru bisa teramati jika melebihi kriteria itu.
sumber
"Problemnya dengan teleskop secanggih apa pun, baik cahaya hilal dan cahaya senja di ufuk sama-sama diperkuat, sehingga hilal di ketinggian rendah tetap sulit terlihat," kata Thomas Djamaluddin di Jakarta, Minggu (28/8/2011).
Ia menanggapi tentang adanya perbedaan pendapat dalam menentukan penanggalan Hijriah seperti penentuan 1 Syawal, 1 Ramadhan, dan lainnya, yakni kriteria wujudul hilal yang menekankan hanya pada hisab dan kriteria Imkan Rukyat yang mengharuskan visibilitas hilal di samping hisab.
"Ketinggian hilal sangat rendah pada 29 Ramadhan (29 Agustus), yakni di bawah dua derajat, maka kemungkinan besar rukyat itu akan gagal melihat hilal, sehingga Ramadhan digenapkan 30 hari dan Idul Fitri seharusnya jatuh pada 31 Agustus," kata Djamal.
Pakar antariksa yang juga anggota Badan Hisab dan Rukyat (BHR) itu menegaskan, cahaya hilal dan cahaya senja berasal dari matahari, jadi panjang gelombangnya sama dan tidak bisa difilter.
Tidak ada teknologi yang mampu melihat hilal (bulan sabit) di bawah 4 derajat, dan secara teori pun tidak ada teknologi yang bisa mengatur tingkat kekontrasan agar hilal bisa lebih tampak dibanding cahaya senja, kecuali ada teknologi yang bisa mematahkan teori tersebut.
"Kriteria hisab yang saat ini digunakan oleh Muhammadiyah seharusnya diperbaiki, kriteria tersebut terlalu sederhana," katanya, sambil menekankan pentingnya penyatuan kriteria penentuan tanggal Hijriah.
Agar bisa merukyat bulan, ujarnya, jarak bulan dan matahari minimal 6,4 derajat dan beda antara tinggi bulan dan matahari dari ufuk minimal 4 derajat. Jadi, hilal baru bisa teramati jika melebihi kriteria itu.
sumber
Powered by Blogger.